Sekitar 176 Pengacara yang tergabung di dalam Tim Advokasi Kriminalisasi untuk Gendo Tolak Reklamasi (TAK GENTAR) menyatakan perlawanan terhadap upaya kriminalisasi Wayan Gendo Suardana, Koordinator ForBALI. Pengacara-pengacara baik individu-individu maupun dari lembaga bantuan hukum tersebut masing-masing dari Jakarta sebanyak 100 pengacara dan 76 pengacara dari Bali.
Dalam jumpa pers di kantor WALHI Nasional, mereka menyatakan kesiapan untuk melawan upaya kriminalisasi terhadap Koordintor ForBALI tersebut. Pospera menuduh Gendo menghina kelompok suku di Indonesia. Gendo dilaporkan atas tuduhan melanggar pasal 28 ayat 2 UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE dan pasal 16 UU Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Ras dan Etnis.
“TAK GENTAR memiliki persepsi yang sama bahwa pelaporan I Wayan Gendo Suardana adalah murni kriminalisasi dengan cara memelintir isu frase atau Konten AKUN TWITER Gendo dengan Tudingan SARA. POSPERA jelas ugal-ugalan dalam hal ini,” kata I Made “Ariel” Suardana, SH.,MH, salah satu Koordinator TAK GENTAR asal Denpasar yang juga Ketua TIM Hukum ForBALI.
Ariel menambahkan sebelumnya sudah ada 76 pengacara siap membela Gendo, nah sekarang menjadi 176. Itu artinya Gendo dipersepsikan orang baik yang mendapat simpati publkc sebagai orang yang dipercaya karena itu kita harus lindungi Gendo. “Apalagi yang melapor salah satunya bernama I Kadek Agus Ekanata, SE Ketua DPD Pospera Bali yang juga Direktur SDM PT. TWBI, perusahaan yang akan mereklamasi teluk Benoa seluas 700 hektar. Kriminalisasi ini jelas bermaksud menghentikan langkah Gendo untuk berjuang menolak reklamasi Teluk Benoa,” ujar Ariel.
Upaya kriminalisasi oleh Pospera terhadap Gendo menurut Benhard Nababan adalah cara kotor untuk mengadu domba rakyat dengan isu SARA menggunakan produk hukum anti demokrasi. “Kriminalisasi adalah cara kotor Pospera untuk mengadu domba rakyat dengan isu SARA dengan menggunakan pasal-pasal antidemokrasi. Mereka menginginkan gerakan rakyat lemah dengan adanya kriminalisasi tersebut. Mengadu domba rakyat dan membungkam gerakan tolak reklamasi teluk benoa dengan cara mengkriminalisasi menodai cita-cita aktivis 98,” ujar pengacara Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) Nasional.
“Pelaporan terhadap Gendo menggunakan isu SARA adalah upaya penggiringan dari isu penolakan reklamasi Teluk Benoa menjadi isu SARA. Mereka sangat menginginkan reklamasi Teluk Benoa lolos,” tambahnya.
Kriminalisasi terhadap Gendo, menurut Ridwan Darmawan, Koordinator Indonesian Human Rights Committee for Social Justice merupakan buntut dari aktivitas ForBALI yang lantang menyuarakan penolakan Reklamasi Teluk Benoa sejak 2013. Menurut Ridwan, Pospera adalah ormas yang menjadi bagian dari rencana reklamasi teluk benoa oleh PT TWBI, dan beberapa kali tercatat terjadi upaya pembelokan isu tolak reklamasi yang dilakukan oleh rakyat Bali.
Adian melalui Ormas Pospera-nya pernah suatu waktu mengatakan di Kampus Warmadewa Bali, bahwa izin reklamasi Teluk Benoa telah selesai. Pada pertengahan Februari 2016, saat Presiden Jokowi melakukan kunjungan ke Amerika Serikat. Sejumlah pegiat lingkungan menyambut Jokowi dengan membantangkan spanduk Tolak Reklamasi Teluk Benoa, Bali. Mereka menghalaunya dengan menyebarkan isu, bahwa aktivis penolak mendukung kelompok Lesbi, Gay, Biseksual dan Transgender (LGBT) dan pro pernikahan sejenis.
Gagal meladeni gerakan rakyat, Pospera justru menuding Gendo rasis. Dan pada saat menuding Gendo rasis orang Pospera menggunakan kampanye #BongkarDanaForBALI. “Rentetan cerita panjang tersebut menunjukkan bahwa Pospera menjadi kacung investor dan melawan kehendak rakyat untuk menolak reklamasi teluk benoa. Dan sudah terang, pelaporan Gendo oleh Pospera jelas merupakan kriminalisasi terhadap gerakan rakyat,” ujar Ridwan.
Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU OTE) telah menjadi momok dan sering kali diselewengkan untuk membungkam masyarakat yang kritis. Upaya rakyat memperjuangkan lingkungan dan untuk mempertahankan lingkungan sering kali dihadakan dengan kriminalisasi. “Para pelapor yang menggunanakan undang-undang ITE selalu adalah pihak yang memiliki kekuasaan, baik itu penguasa maupun pengusaha. Orang yang kritis selalu dilakukan kriminalisasi menggunakan undang-undang tersebut. Oleh karena itu, kriminalisasi terhadap Wayan Gendo Suardana harus dilawan karena itu adalah cara-cara kotor anti demokrasi,” ujar Asep Komarudin, pengacara dari LBH Pers.
TAK GENTAR dalam jumpa persnya juga menyatakan, 176 advokat yang tergabung akan terus bertambah mengingat kriminalisasi terhadap aktivis merupakan isu bersama yang harus disikapi secara serius karena mengancam kebebasan berekspresi di Indonesia.
Sumber: https://www.forbali.org/id/tak-gentar-lawan-kriminalisasi-aktifis-forbali/