Translate

4/06/2009

TKI terlunta-lunta di Suriname

Senin, 06/04/2009 20:16:28 WIB

Oleh: Rahmayulis Saleh

JAKARTA (bisnis.com): Nanang Kurnia, 38, tidak menyangka kalau nasibnya akan terlunta-lunta di negeri orang. Niat mau meraup dolar AS untuk menghidupi keluarga dan merajut masa depan, malah badan tergadai.

Laki-laki asal Kertosono, Nganjuk, Jawa Timur, sekitar enam bulan lalu meninggalkan kampung halamannya. Negara tujuannya adalah Suriname, yang masih memakai bahasa Jawa dalam berkomunikasi sehari-hari. Nanang dan tiga orang temannya dari Yogyakarta, ditawari oleh seseorang bekerja di Suriname sebagai mekanik di sebuah pabrik motor.

"Menurut teman yang pernah bekerja di negara itu, gajinya lumayan. Selama lima tahun bekerja di sana, bisa membiayai hidup selamanya di kampung," ujarnya dari Bambu Apus, Jakarta, lewat telepon kepada Bisnis sore tadi.

Dalam waktu tidak lama, cerita Nanang, dia dan teman-temannya sepakat berangkat ke negeri tersebut. Modalnya hanya biaya untuk membuat paspor. Sementara tiket dan lainnya ditanggung oleh perusahaan yang menawarinya bekerja. Perusahaan itu adalah Kaminah Motor, di Distrik Wanica, Lily Gorp, Suriname.

Nanang berangkat ke Suriname dengan visa turis. Sehari setelah sampai di negeri itu, diapun langsung bekerja. Membongkar mesin motor bukan hal baru baginya. Sebab, dia sebelumnya sudah lama bekerja di bengkel motor, dan sudah mengerti tentang mesin kendaraan roda dua itu.

Setelah dua bulan bekerja, kata Nanang, dia belum tahu apa dan bagaimana statusnya. Berapa besaran gaji yang diterimanya, haknya apa saja, termasuk upah lembur, dan perjanjian lainnya secara administratif. Selain itu juga belum diantarkan ke kantor Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Suriname untuk melaporkan bahwa dia bekerja di negeri itu.

"Ketika masalah ini kami bicarakan dengan pimpinan Kaminah Motor, eh kami malah diusir dengan alasan tidak memiliki visa kerja. Gaji selama dua bulan tidak dibayar, dan barang-barang milik pribadi tidak boleh dibawa, malahan disuruh ganti rugi membayar tiket sekitar US$2.500," tuturnya.

Di pabrik itu, katanya, ada 11 orang warga Indonesia yang tengah bekerja. Semuanya diusir. Mereka melapor ke KBRI dan ditampung disana.

"Seminggu setelah tinggal di KBRI, kami difasilitasi bertemu dengan bos. Dan tiga orang teman kembali bekerja di pabrik itu. Namun, delapan orang lainnya termasuk saya, tidak mau. Sebab, isi perjanjian kontraknya tidak jelas, termasuk jam kerja, gaji, dan lainnya. Kebanyakan isinya merugikan pekerja," ujar Nanang lulusan SMA yang sempat kuliah perhotelan di sebuah universitas di Bali.

Walhasil Nanang dan teman-temannya pun terkatung-katung di KBRI. Kasus mereka sempat diberitakan oleh media setempat, mengenai buruh migran yang terkena PHK sepihak. Namun kasusnya tidak selesai-selesai. Dia ingin gajinya dibayarkan dan hak-haknya diberikan oleh perusahaan. Tak terasa empat bulan Nanang ditampung di KBRI.

"Selama itu tidak ada tanda-tanda kasusnya akan selesai. Akhirnya atas bantuan International Organization for Migration (IOM), saya dan teman-teman difasilitasi untuk pulang ke Indonesia," lanjutnya.

Sekarang mereka ditampung di Bambu Apus, milik Dinas Sosial, Departemen Sosial. Sekarang masalahnya, kata Nanang, dia ingin cepat-cepat pulang ke Nganjuk berkumpul dengan isteri dan keluarganya. Namun belum ada tanda-tanda dari pemerintah untuk memulangkannya.

"Sampai sekarang pejabat Depsos tidak ada yang datang. Ya, kami menunggu saja di sini, tidak jelas," ungkapnya.

Pemerintah lamban

Sementara itu, Koordinator Tim Advokasi Migrant Care, Benhard Nababan menilai pemerintah terkesan lamban dalam menangani kasus TKI dari Suriname tersebut.

"Rencananya kami akan bertemu mereka di Bambu Apus, seharusnya kasus seperti ini bisa cepat diselesaikan pemerintah, terutama KBRI, Departemen Tenaga Kerja dan Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI),"

"Ketika para pekerja tersebut masih berada di penampungan KBRI Suriname semestinya dipertemukan dengan pihak-pihak terkait, jadi pembayaran gaji dan hak-hak lainnya bisa diselesaikan dengan segera" ujar Benhard kepada Bisnis

Mereka dipulangkan ke Indonesia sejak seminggu yang lalu tapi belum diperbolehkan pulang ke kampung halaman karena harus menunggu prosedur lainnya,

Migrant Care akan membantu para pekerja tersebut mendapatkan hak-hak yang belum dipenuhi pengusaha tempatnya mereka bekerja. "Mudah-mudahan bisa diselesaikan dengan baik," ujar Benhard.

Sita Widyawati, Kasudit Bantuan Sosial Korban Tindak Kekerasan Depsos menuturkan sebenarnya kasus Nanang cs adalah trafficking karena diserahkan oleh IOM. Departemen Luar Negeri pun mengindentifikasi bahwa mereka adalah korban trafficking.

"Kami dari Depsos hanya dititipi oleh IOM dan Deplu, untuk membantu menghilangkan trauma, dan memulihkan secara psikososial," ujarnya kepada Bisnis. Para korban tersebut, katanya, untuk sementara di tampung di Rumah Perlindungan Trauma Center Bambu Apus, milik Depsos. Masalah kepulangan mereka ke kampung halaman masing-masing, tergantung bagaimana hasil dari penggalian informasi dan pemulihan psiko sosial mereka.

"Kalau tidak ada masalah apa-apa, bisa secepatnya dipulangkan. Kalau masih di Jawa dengan bus Damri, kalau di luar Jawa dengan kapal Pelni," tambah Sita. Dia menuturkan biasanya seseorang berada di rumah penampungan Bambu Apus sekitar satu minggu, kecuali yang menderita sakit berat, harus dirawat dulu.

Namun, kalau semuanya lancar, dalam tiga hari juga bisa pergi. Untuk menganani para korban tersebut, kata Sita, Depsos menyediakan tenaga ahli dari psikolog dan pekerja sosial. “Mereka yang akan membantu para korban, dan melaporkan hasilnya kepada kami. Setelah itu baru diatasi bersama, bagaimana tindakan selanjutnya," ujarnya. (tw)

Sumber: http://www.bisnis.com/umum/sosial/1id111695.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar