| Jumat, 30 Oktober 2009 | |||
Jakarta, BNP2TKI (30/10) Kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) Moh. Jumhur Hidayat mengaku berduka dan prihatin atas meninggalnya Raisem (36) binti Wardi TKI asal Sukra Indramayu, Jawa Barat, yang bekerja di Dubai, Uni Emirat Arab (UEA). BNP2TKI memberikan santunan uang kepada keluarga Raisem sebesar Rp 5 juta. BNP2TKI juga akan membiayai proses pemulangan jenazah dari Dubai hingga kampung halaman Raisem. Menurut Jumhur, persoalan TKI memang tidak mudah diselesaikan, masalah satu selesai muncul lagi persoalan baru. Banyaknya persoalan ini karena adanya mafia TKI yang memperdagangkan orang dengan logo Garuda. “Saya turut prihatin atas musibah yang menimpa Raisem, BNP2TKI akan segera mengurus dan membatu pemulangan jenazah Raisem dari Dubai. BNP2TKI juga memberikan santunan uang sebesar Rp 5 juta untuk Almarhum dan keluarga Raisem,” ujar Kepala BNP2TKI dihadapan keluarga korban dan Migrant Care, Kamis (29/10). Pemberian uang santuan dari BNP2TKI itu langsung diterima Taryani, ibu kandung Almarhumah. Sambung Jumhur, BNP2TKI akan bekerja sama dengan KBRI Dubai dan Depatemen Luar Negeri (Deplu) untuk memulangkan jenazah Raisem. “Ini tidak boleh dibiarkan, jenazah Raisem harus segera dipulangkan ke Indonesia. Masalah biaya pemulangan jenazah itu BNP2TKI tanggung, kita tidak mau menyulitkannya malah ingin mempermudahnya,” katanya. Menurut Benhard Nababan, perwakilan dari Migrant Care, Raisem bekerja sebagai Penata Laksana Rumah Tangga (PLRT) di Dubai. Almahumah meninggal dunia karena diduga terinveksi virus HIV Aids. “Raisem meninggal dunia 12 Juli 2009 lalu, sudah tiga bulan jenazahnya tidak bisa dipulangkan karena permasalahan dokumen dan passpor. Kami hanya menerima isi berita kematian Raisem dari surat yang dikirim oleh Deplu. Dalam isi beritanya Raisem meninggal karena HIV. Tapi ketika berangkat menjadi TKI Raisem tidak terinfeksi HIV,” kata Benhard. Taryani, ibu kandung Almarhumah mengaku bahagia bisa bertemu langsung dengan Kepala BNP2TKI. Ia berjanji akan menggunakan uang santunan dari BNP2TKI untuk tahlilan dan biaya anak-anak Raisem. Jenazah Raisem saat ini berada di Rumah Sakit Marhabat Dubai. Raisem bekerja di Dubai sejak tahun 2006, Almarhumah meninggalkan seorang suami dan tiga anak. (hp) Sumber: http://www.bnp2tki.go.id/content/view/1798/231/ | |||
Translate
10/30/2009
BNP2TKI Biayai Pemulangan Jenazah Raisem
7/15/2009
Pemilih Sabah Hanya 18,4 Persen
Panwas LN Tak Kawal Surat Suara, Rawan Dimanipulasi
TAWAU- Pelaksanaan Pemilihan Presiden (Pilpres) di Malaysia Timur (8/7) lalu masih jauh dari harapan. Migrant CARE yang mengawal hak politik Buruh Migran Indonesia (BMI) –biasa disebut TKW- sebagai pemantau pemilihan presiden luar negeri melihat bahwa mekanisme pemilu di luar negeri yang sudah berlangsung, masih tidak efektif dan perlu dikaji ulang hingga menghasilka legislasi yang kuat untuk perlindungan hak politik BMI.
Distribusi surat suara terbesar melalui pos antar di Pilpres (8/7) lalu tidak hanya berjalan tidak hanya lamban. Namun juga tanpa pengawasan.
Koordinator Tim relawan Migrant CARE wilayah Sabah, Benhard Nababan mengutarakan, Panwaslu seharusnya terlibat langsung melakukan pengawasan mulai dari distribusi surat suara bias sampai ke tangan para buruh Indonesia, memastikan hingga surat suara benar-benar sampai dan tidak terjadi pelanggaran terhadap hak politik buruh. Distribusi tanpa pengawalan, lanjutnya, tidak hanya wujud pengabaian negara, namun juga sangat rentan manipulasi. Kemungkinan itu terbuka lebar apabila oknum-oknum berkepentingan dari salah satu pasangan calon berhasil mengakses.
“Jumlah paling besar justru suara yang melalui pos antaran. Ini saja sudah menggelitik kita. Apalagi distribusinya ternyata hanya lewat kantor pusat di kota, tidak langsung ke estate atau ke pabrik tempat warga Indonesia bekerja. Penerima awal surat suara juga manajer yang nota bene orang Malaysia. Dari manajer baru kemudia diturunkan ke mandor untuk disampaikan ke BNI yang bekerja di masing-masing estate. Semua prosedur dilalui tanpa ada pengawasan dari Panwas LN. Kalau Panwas LN tidak terlibat, lantas siapa yang seharusnya terlibat,” ungkapnya.
Apalagi, kata dia, jumlah suara yang diantar melalui pos mencapai 63.804 suara. Jumlah ini sangat signifikan mengingat berdasarkan Daftar Pemilih Tetap (DPT) untuk Sabah-Malaysia mencapai 76.133 orang. Sebanyak 12.329 memilih di 10 tempat pemilihan suara (TPS-LN) yang disediakan. Kinabalu 5 TPS-LN dan 5 TPS-LN di Tawau. Selebihnya memilih lewat pos yang disebar di 275 lokasi yang mayoritas adalah daerah Estate/Perkebunan.
Tim yang disebar di seluruh Kinabalu dan Tawau mengantongi data 2.264 orang pemilih yang menggunakan hak politiknya. Kinabalu 1.480-orang dan Tawau 784 orang. Praktis, angka partisipasi masyarakat migran Indonesia di seluruh TPS-LN Sabah hanya mencapai 18,4%.
Minimnya partisipasi masih saja disebabkan oleh faktor-faktor lama. Karena passport di tangan majikan, tidak diperkenankan keluar hingga tidak tersentuhnya sosialisasi pemilu. Dalam perjalanan kembali melalui Tawau, Tim Migrant CARE juga menemukan ratusan buruh di estate yang tidak mengetahui kapan tanggal dilaksanakan pemilu dan siapa yang dicalonkan.
Dalam investasi langsung di kantong-kantong BMI, Tim Migrant CARE juga menemukan bahwa pekerja kebun tidak bisa mencontreng pada tanggal yang ditentukan karena surat suara dari pos antar belum sampai ke estate atau kilang tempat mereka bekerja. Procedural, surat suara seharusnya sudah sampai H-2. Hingga pukul 09.00 (8/7), hasil cross check di estate Dumpas –sebuah nama perusahaan perkebunan di Tawau- ternyata surat suara belum sampai tujuan. Diperkirakan paling cepat keesokan harinya (9/7) baru diterima mandor.
Temuan baru juga diperoleh dari sumber kompeten di dalam estate dan kilang. Bahwa proses distribusi serupa juga terjadi pada masa Pileg lalu. Bahkan di titik inilah suara rawan digelembungkan. Menurut sumber tersebut, di setiap Pemilu di Luar Negeri satu kepala mencontreng 3 atau lebih suara adalah hal biasa. Kemungkinan hal serupa bisa terulang di Pilpres.
“Kita punya datanya dan saksi-saksi siap memberi keterangan,” jelas Benhard.
Pelanggaran-pelanggaran juga terjadi di Tempat TPS-LN. Tidak ada saksi dari masing-masing calon, pengawasan yang minim, penggelembungan suara juga terjadi di hampir setiap estate, hingga sosialisasi yang tak menyentuh ke akar rumput. Tim relawan Migrant CARE yang memantau Pilpres Luar Negeri 2009 melaporkan, pelanggaran nyaris merata di seluruh Sabah.
Hasil pantauan di beberapa TPS juga tidak kalah mencengangkan. Intervensi baik pemerintah maupun oknum tertentu terhadap hak politik warga masih terlihat mencolok. Beberapa suara yang dicontreng dengan cara membubuhkan tandatangan pada gambar calon pun disyahkan lantaran suara diberikan pada calon tertentu. Tertangkap pula intervensi oknum berkepentingan pada calon tertentu yang dilakukan terang-terangan di bilik TPS. Oknum yang juga dikenali oleh tim Migrant CARE sebagai WNI yang memegang IC Malaysia itu tanpa sungkan-sungkan masuk ke bilik suara bersamaan dengan pemilih. Tim pemantau juga mendapati 2 pemilih wanita yang datang ke TPS-LN menggunakan nama orang tua laki-lakinya. Mereka mencontreng tanpa mendapat teguran dari petugas.
“Kita tahu bahwa hanya cacat saja yang ada dalam ketentuan undang-undang, diperbolehkan menunjuk pendamping di bilik suara,” imbuh Benhard. Benhard juga menyebut, pihaknya sempat mengkonfirmasikan semua pelanggaran-pelanggaran yang ada di lapangan. Baik dengan pihak Konsulat Indonesia, Panwas LN maupun ke KPPLN di Sabah langsung.
Menurut KPPLN, sosialisasi telah dilakukan pada Sabtu-Minggu dan disiarkan pula di TV Malaysia. Petugas juga bertemu langsung pekerja di perkebunan, melakukan presentasi ke publik. Harun, KPPLN Tawau menyebut pihaknya juga bekerjasama dengan pemerintah melalui Majelis Perbandaran Tawau. Namun diakui masih ada saja kendala pendataan seperti tenaga harian lepas, pekerja berpindah-pindah. PPLN juga mengakui bahwa dana tersedia. Jika kemudian hingga 8/7 BMI di perkebunan belum memilih karena PPLN medan yang terlalu luas sedang tenaga panitia terbatas.
Pengiriman lewat pos sebenarnya merupakan alternatif untuk menyiasati kebijakan Malaysia yang tidak mengijinkan mendirikan TPS di estate-estate. TPS yang dibentuk pun berdasar instruksi KPU untuk memperbanyak partisipasi dan menjaga supaya tidak banyak kartu suara yang rusak. Menurut Harun, KPU juga telah menentukan pengecualian untuk pekerja kebun supaya bisa menggunakan hak pilihnya hingga tenggang waktu 10 hari setelah pemilu yang dijadwalkan.
Dari hasil pantauan di Sabah, perolehan suara sementara (menunggu hasil penghitungan suara pos antaran), unggul pasangan SBY-Boediono dengan 991 suara, disusul pasangan JK-Wiranto dengan 613 suara, dan pasangan Mega-Prabowo memperoleh 553 suara. Untuk suara sah mencapai 2.157 suara, yang diakomodir dari Kota Kinabalu dengan suara sah sebanyak 1.383 suara, dan Tawau sebanyak 774 suara sah. Sementara surat suara tidak sah sebanyak 107 suara (Kota Kinabalu: 97 suara, Tawau: 10 suara).
Hingga kemarin (14/7), perhitungan suara untuk pos antara dari masing-masing estate belum juga sampai di Tawau. Sehingga keunggulan SBY-Boediono ini masih bersifat sementara. (*/ash)
Sumber: http://www.radartarakan.co.id/berita/index.asp?Berita=POLITIK&id=155996
4/06/2009
TKI terlunta-lunta di Suriname
Senin, 06/04/2009 20:16:28 WIBOleh: Rahmayulis Saleh
JAKARTA (bisnis.com): Nanang Kurnia, 38, tidak menyangka kalau nasibnya akan terlunta-lunta di negeri orang. Niat mau meraup dolar AS untuk menghidupi keluarga dan merajut masa depan, malah badan tergadai.
Laki-laki asal Kertosono, Nganjuk, Jawa Timur, sekitar enam bulan lalu meninggalkan kampung halamannya. Negara tujuannya adalah Suriname, yang masih memakai bahasa Jawa dalam berkomunikasi sehari-hari. Nanang dan tiga orang temannya dari Yogyakarta, ditawari oleh seseorang bekerja di Suriname sebagai mekanik di sebuah pabrik motor.
"Menurut teman yang pernah bekerja di negara itu, gajinya lumayan. Selama lima tahun bekerja di sana, bisa membiayai hidup selamanya di kampung," ujarnya dari Bambu Apus, Jakarta, lewat telepon kepada Bisnis sore tadi.
Dalam waktu tidak lama, cerita Nanang, dia dan teman-temannya sepakat berangkat ke negeri tersebut. Modalnya hanya biaya untuk membuat paspor. Sementara tiket dan lainnya ditanggung oleh perusahaan yang menawarinya bekerja. Perusahaan itu adalah Kaminah Motor, di Distrik Wanica, Lily Gorp, Suriname.
Nanang berangkat ke Suriname dengan visa turis. Sehari setelah sampai di negeri itu, diapun langsung bekerja. Membongkar mesin motor bukan hal baru baginya. Sebab, dia sebelumnya sudah lama bekerja di bengkel motor, dan sudah mengerti tentang mesin kendaraan roda dua itu.
Setelah dua bulan bekerja, kata Nanang, dia belum tahu apa dan bagaimana statusnya. Berapa besaran gaji yang diterimanya, haknya apa saja, termasuk upah lembur, dan perjanjian lainnya secara administratif. Selain itu juga belum diantarkan ke kantor Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Suriname untuk melaporkan bahwa dia bekerja di negeri itu.
"Ketika masalah ini kami bicarakan dengan pimpinan Kaminah Motor, eh kami malah diusir dengan alasan tidak memiliki visa kerja. Gaji selama dua bulan tidak dibayar, dan barang-barang milik pribadi tidak boleh dibawa, malahan disuruh ganti rugi membayar tiket sekitar US$2.500," tuturnya.
Di pabrik itu, katanya, ada 11 orang warga Indonesia yang tengah bekerja. Semuanya diusir. Mereka melapor ke KBRI dan ditampung disana.
"Seminggu setelah tinggal di KBRI, kami difasilitasi bertemu dengan bos. Dan tiga orang teman kembali bekerja di pabrik itu. Namun, delapan orang lainnya termasuk saya, tidak mau. Sebab, isi perjanjian kontraknya tidak jelas, termasuk jam kerja, gaji, dan lainnya. Kebanyakan isinya merugikan pekerja," ujar Nanang lulusan SMA yang sempat kuliah perhotelan di sebuah universitas di Bali.
Walhasil Nanang dan teman-temannya pun terkatung-katung di KBRI. Kasus mereka sempat diberitakan oleh media setempat, mengenai buruh migran yang terkena PHK sepihak. Namun kasusnya tidak selesai-selesai. Dia ingin gajinya dibayarkan dan hak-haknya diberikan oleh perusahaan. Tak terasa empat bulan Nanang ditampung di KBRI.
"Selama itu tidak ada tanda-tanda kasusnya akan selesai. Akhirnya atas bantuan International Organization for Migration (IOM), saya dan teman-teman difasilitasi untuk pulang ke Indonesia," lanjutnya.
Sekarang mereka ditampung di Bambu Apus, milik Dinas Sosial, Departemen Sosial. Sekarang masalahnya, kata Nanang, dia ingin cepat-cepat pulang ke Nganjuk berkumpul dengan isteri dan keluarganya. Namun belum ada tanda-tanda dari pemerintah untuk memulangkannya.
"Sampai sekarang pejabat Depsos tidak ada yang datang. Ya, kami menunggu saja di sini, tidak jelas," ungkapnya.
Pemerintah lamban
Sementara itu, Koordinator Tim Advokasi Migrant Care, Benhard Nababan menilai pemerintah terkesan lamban dalam menangani kasus TKI dari Suriname tersebut.
"Rencananya kami akan bertemu mereka di Bambu Apus, seharusnya kasus seperti ini bisa cepat diselesaikan pemerintah, terutama KBRI, Departemen Tenaga Kerja dan Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI),"
"Ketika para pekerja tersebut masih berada di penampungan KBRI Suriname semestinya dipertemukan dengan pihak-pihak terkait, jadi pembayaran gaji dan hak-hak lainnya bisa diselesaikan dengan segera" ujar Benhard kepada Bisnis
Mereka dipulangkan ke Indonesia sejak seminggu yang lalu tapi belum diperbolehkan pulang ke kampung halaman karena harus menunggu prosedur lainnya,
Migrant Care akan membantu para pekerja tersebut mendapatkan hak-hak yang belum dipenuhi pengusaha tempatnya mereka bekerja. "Mudah-mudahan bisa diselesaikan dengan baik," ujar Benhard.
Sita Widyawati, Kasudit Bantuan Sosial Korban Tindak Kekerasan Depsos menuturkan sebenarnya kasus Nanang cs adalah trafficking karena diserahkan oleh IOM. Departemen Luar Negeri pun mengindentifikasi bahwa mereka adalah korban trafficking.
"Kami dari Depsos hanya dititipi oleh IOM dan Deplu, untuk membantu menghilangkan trauma, dan memulihkan secara psikososial," ujarnya kepada Bisnis. Para korban tersebut, katanya, untuk sementara di tampung di Rumah Perlindungan Trauma Center Bambu Apus, milik Depsos. Masalah kepulangan mereka ke kampung halaman masing-masing, tergantung bagaimana hasil dari penggalian informasi dan pemulihan psiko sosial mereka.
"Kalau tidak ada masalah apa-apa, bisa secepatnya dipulangkan. Kalau masih di Jawa dengan bus Damri, kalau di luar Jawa dengan kapal Pelni," tambah Sita. Dia menuturkan biasanya seseorang berada di rumah penampungan Bambu Apus sekitar satu minggu, kecuali yang menderita sakit berat, harus dirawat dulu.
Namun, kalau semuanya lancar, dalam tiga hari juga bisa pergi. Untuk menganani para korban tersebut, kata Sita, Depsos menyediakan tenaga ahli dari psikolog dan pekerja sosial. “Mereka yang akan membantu para korban, dan melaporkan hasilnya kepada kami. Setelah itu baru diatasi bersama, bagaimana tindakan selanjutnya," ujarnya. (tw)
Sumber: http://www.bisnis.com/umum/sosial/1id111695.html
Laki-laki asal Kertosono, Nganjuk, Jawa Timur, sekitar enam bulan lalu meninggalkan kampung halamannya. Negara tujuannya adalah Suriname, yang masih memakai bahasa Jawa dalam berkomunikasi sehari-hari. Nanang dan tiga orang temannya dari Yogyakarta, ditawari oleh seseorang bekerja di Suriname sebagai mekanik di sebuah pabrik motor.
"Menurut teman yang pernah bekerja di negara itu, gajinya lumayan. Selama lima tahun bekerja di sana, bisa membiayai hidup selamanya di kampung," ujarnya dari Bambu Apus, Jakarta, lewat telepon kepada Bisnis sore tadi.
Dalam waktu tidak lama, cerita Nanang, dia dan teman-temannya sepakat berangkat ke negeri tersebut. Modalnya hanya biaya untuk membuat paspor. Sementara tiket dan lainnya ditanggung oleh perusahaan yang menawarinya bekerja. Perusahaan itu adalah Kaminah Motor, di Distrik Wanica, Lily Gorp, Suriname.
Nanang berangkat ke Suriname dengan visa turis. Sehari setelah sampai di negeri itu, diapun langsung bekerja. Membongkar mesin motor bukan hal baru baginya. Sebab, dia sebelumnya sudah lama bekerja di bengkel motor, dan sudah mengerti tentang mesin kendaraan roda dua itu.
Setelah dua bulan bekerja, kata Nanang, dia belum tahu apa dan bagaimana statusnya. Berapa besaran gaji yang diterimanya, haknya apa saja, termasuk upah lembur, dan perjanjian lainnya secara administratif. Selain itu juga belum diantarkan ke kantor Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Suriname untuk melaporkan bahwa dia bekerja di negeri itu.
"Ketika masalah ini kami bicarakan dengan pimpinan Kaminah Motor, eh kami malah diusir dengan alasan tidak memiliki visa kerja. Gaji selama dua bulan tidak dibayar, dan barang-barang milik pribadi tidak boleh dibawa, malahan disuruh ganti rugi membayar tiket sekitar US$2.500," tuturnya.
Di pabrik itu, katanya, ada 11 orang warga Indonesia yang tengah bekerja. Semuanya diusir. Mereka melapor ke KBRI dan ditampung disana.
"Seminggu setelah tinggal di KBRI, kami difasilitasi bertemu dengan bos. Dan tiga orang teman kembali bekerja di pabrik itu. Namun, delapan orang lainnya termasuk saya, tidak mau. Sebab, isi perjanjian kontraknya tidak jelas, termasuk jam kerja, gaji, dan lainnya. Kebanyakan isinya merugikan pekerja," ujar Nanang lulusan SMA yang sempat kuliah perhotelan di sebuah universitas di Bali.
Walhasil Nanang dan teman-temannya pun terkatung-katung di KBRI. Kasus mereka sempat diberitakan oleh media setempat, mengenai buruh migran yang terkena PHK sepihak. Namun kasusnya tidak selesai-selesai. Dia ingin gajinya dibayarkan dan hak-haknya diberikan oleh perusahaan. Tak terasa empat bulan Nanang ditampung di KBRI.
"Selama itu tidak ada tanda-tanda kasusnya akan selesai. Akhirnya atas bantuan International Organization for Migration (IOM), saya dan teman-teman difasilitasi untuk pulang ke Indonesia," lanjutnya.
Sekarang mereka ditampung di Bambu Apus, milik Dinas Sosial, Departemen Sosial. Sekarang masalahnya, kata Nanang, dia ingin cepat-cepat pulang ke Nganjuk berkumpul dengan isteri dan keluarganya. Namun belum ada tanda-tanda dari pemerintah untuk memulangkannya.
"Sampai sekarang pejabat Depsos tidak ada yang datang. Ya, kami menunggu saja di sini, tidak jelas," ungkapnya.
Pemerintah lamban
Sementara itu, Koordinator Tim Advokasi Migrant Care, Benhard Nababan menilai pemerintah terkesan lamban dalam menangani kasus TKI dari Suriname tersebut.
"Rencananya kami akan bertemu mereka di Bambu Apus, seharusnya kasus seperti ini bisa cepat diselesaikan pemerintah, terutama KBRI, Departemen Tenaga Kerja dan Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI),"
"Ketika para pekerja tersebut masih berada di penampungan KBRI Suriname semestinya dipertemukan dengan pihak-pihak terkait, jadi pembayaran gaji dan hak-hak lainnya bisa diselesaikan dengan segera" ujar Benhard kepada Bisnis
Mereka dipulangkan ke Indonesia sejak seminggu yang lalu tapi belum diperbolehkan pulang ke kampung halaman karena harus menunggu prosedur lainnya,
Migrant Care akan membantu para pekerja tersebut mendapatkan hak-hak yang belum dipenuhi pengusaha tempatnya mereka bekerja. "Mudah-mudahan bisa diselesaikan dengan baik," ujar Benhard.
Sita Widyawati, Kasudit Bantuan Sosial Korban Tindak Kekerasan Depsos menuturkan sebenarnya kasus Nanang cs adalah trafficking karena diserahkan oleh IOM. Departemen Luar Negeri pun mengindentifikasi bahwa mereka adalah korban trafficking.
"Kami dari Depsos hanya dititipi oleh IOM dan Deplu, untuk membantu menghilangkan trauma, dan memulihkan secara psikososial," ujarnya kepada Bisnis. Para korban tersebut, katanya, untuk sementara di tampung di Rumah Perlindungan Trauma Center Bambu Apus, milik Depsos. Masalah kepulangan mereka ke kampung halaman masing-masing, tergantung bagaimana hasil dari penggalian informasi dan pemulihan psiko sosial mereka.
"Kalau tidak ada masalah apa-apa, bisa secepatnya dipulangkan. Kalau masih di Jawa dengan bus Damri, kalau di luar Jawa dengan kapal Pelni," tambah Sita. Dia menuturkan biasanya seseorang berada di rumah penampungan Bambu Apus sekitar satu minggu, kecuali yang menderita sakit berat, harus dirawat dulu.
Namun, kalau semuanya lancar, dalam tiga hari juga bisa pergi. Untuk menganani para korban tersebut, kata Sita, Depsos menyediakan tenaga ahli dari psikolog dan pekerja sosial. “Mereka yang akan membantu para korban, dan melaporkan hasilnya kepada kami. Setelah itu baru diatasi bersama, bagaimana tindakan selanjutnya," ujarnya. (tw)
Sumber: http://www.bisnis.com/umum/sosial/1id111695.html
3/17/2009
Concerted Petition of Indonesian Migrant Workers, Civilians and Worker Observers: "Ratify Immediately the 1990 Migrant Convention"
Dear Friends,
I have just read and signed the online petition: Petisi Bersama Buruh Migran, Masyarakat Sipil dan Pemerhati Buruh Migran Indonesia "Segera Ratifikasi Konvensi Migran 1990" hosted on the web by PetitionOnline.com, the free online petition service, at: http://www.PetitionOnline.com/BMI/
I personally agree with what this petition says, and I think you might agree, too. If you can spare a moment, please take a look, and consider signing yourself.
Best wishes,
Benhard Nababan
Langganan:
Komentar (Atom)