Benhard Nababan
"Memampukan Rakyat Mengurus Dirinya Sendiri."
Translate
7/01/2019
BNP2TKI Jalin Silahturahmi Pensiunan dan Alumni Lewat Acara Halal Bihalal
1/14/2019
One Chanel Dikhawatirkan Munculkan Monopoli Pengiriman TKI
Red: Joko Sadewo

8/26/2016
TAK GENTAR Lawan Kriminalisasi Aktifis ForBALI
9/10/2015
Book Toward One Year Of Implementations Of The Recommendations Of The Committee Against Torture By Indonesia
5/29/2012
Pernyataan Ketua Satgas TKI Tidak Mencerminkan Penghormatan Hak-Hak Pekerja Migran Perempuan
Pada tanggal 29 Mei 2012, berlangsung acara "Sosialisasi SATGAS Penanganan Kasus WNI/TKI yang terancam Hukuman Mati (SATGAS TKI) tentang Penyempurnaan Proses Penyediaan dan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia" yang diselenggarakan oleh SATGAS TKI di Hotel Borobudur. Sosialisasi ini menghadirkan para narasumber yang menyampaikan paparannya. Juru bicara SATGAS TKI, Humprey Djemat menyampaikan prestasi selama ini bahwa Dari 312 kasus ancaman hukuman mati terhadap WNI 72 kasus berhasil dibatalkan eksekusinya. Humprey Djemat juga menyampaika bahwa menjadi anggota SATGAS TKI salah satunya harus punya empati terhadap persoalan pekerja migran. Narasumber lain, Nasarudin Umar, menyampaikan bahwa perlu pendekatan khusus dalam penanganan kasus hukuman mati bagi pekerja migran termasuk pendekatan gender untuk mengatasi ketimpangan relasi gender yang dialami oleh pekerja migran perempuan. Sebagai contoh, kekerasan seksual dapat terjadi kepada perempuan karena adanya relasi kuasa (power relation) yang timpang bukan karena pakaian yang dikenakan pekerja migran.
Namun sayang sekali, paparan-paparan narasumber tersebut dicederai oleh pernyataan penutup (Closing Statement) dari Ketua SATGAS TKI, Maftuh Basyuni, yang menyinggung dan melukai perjuangan penegakan hak-hak pekerja migran yang menjadi perhatian kami. Ketua SATGAS TKI pada saat itu menyampaikan bahwa kekerasan yang dialami pekerja migran banyak terjadi karena bersumber dari sikap dan perilaku pekerja migran itu sendiri, khususnya pekerja migran perempuan, antara lain bersikap genit, nakal, dan melakukan pergaulan bebas selama di luar negeri. Pernyataan Ketua SATGAS TKI juga menstigma Pekerja migran perempuan dengan menyatakan bahwa Pekerja Migran Perempuan yang pulang ke Indonesia dengan membawa anak yang berwajah lebih mirip dengan orang Pakistan dan Bangladesh merupakan adalah akibat pergaulan bebas.
Kami prihatin dan kecewa dengan pernyataan tersebut karena selain bertentangan dengan paparan narasumber sebelumnya juga kontraproduktif dengan semangat pembelaan terhadap hak-hak pekerja migran di Luar Negeri (mayoritas adalah perempuan) yang justru menjadi salah satu mandat SATGAS TKI. Pernyataan tersebut menegaskan ketidakpahaman pada pendekatan HAM, keadilan gender, dan perspektif korban dalam penangan kasus-kasus pekeja migran. Padahal pada 12 April 2012 Indonesia baru meratifikasi konvensi migran 1990 tentang Perlindungan Hak-Hak Seluruh Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya.
Dengan perspektif Ketua SATGAS TKI yang demikian, kami meragukan bahwa SATGAS TKI dapat berkontribusi dalam perbaikan sistem perlindungan hak-hak pekerja migran Indonesia, revisi UU 39/2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar Negeri (PPTKILN) dan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga.
Kami Menyatakan:
1. Ketua SATGAS TKI untuk meminta maaf secara terbuka terutama kepada buruh migran, khususnya yang saat ini mengalami ancaman hukuman mati dan keluarganya.
2. Meningkatkan kinerja SATGAS TKI dengan penekanan pada pendekatan HAM dan keadilaan gender serta mengutamakan perspektif korban dan menghindari sikap, cara pandang dan tindakan yang cenderung menyalahkan korban .
Jakarta, 29 Mei 2012
Peserta Sosialisasi tentang Penyempurnaan Proses Penyediaan dan Penempatan TKI di Luar Negeri serta Perlindungan WNI di Luar Negeri:
1. Acah, orang tua Karsih (Pekerja Migran Perempuan yang Terancam Hukuman Mati)
2. Ari Sunarijati (F-SPSI Reformasi)
3. Benhard Nababan (PB SBM GASBIINDO)
4. Bobi (SBMI Karawang)
5. Cakra (SBMI Karawang)
6. Herman (SBMI Karawang)
7. Jejen Nurjanah (DPN SBMI)
8. Lily Pujiati (Peduli Buruh Migran)
9. Nasihin (SBMI Karawang)
10. Roy (SBMI Bekasi)
11. Siti Zubaidah (SBMI Karawang)
12. Thaufiek Zulbahary (Solidaritas Perempuan)
13. Yohanna T Wardhani (KAPAL Perempuan)
14. Yuni (IWORK)
15. JALA PRT
Kontak Person: Ari S. (0812813110); Thaufiek Zulbahary (08121934205); Yohanna (081382887689)
12/21/2011
Resolusi Ciputat: “Manusiakan Buruh Migran Indonesia”
- Membangun komunikasi antar organisasi BMI berbasis komunitas
- Meningkatkan kesadaran bersama dengan metode bangkitkan, organisasikan, gerakkan dan ciptakan pemecahan masalah kongkrit
- Terus melakukan pembelajaran terkait hak normatif BMI yang difasilitasi secara bersama oleh seluruh organisasi
- Menjadikan isu “Manusiakan Buruh Migran Indonesia” sebagai isu bersama
- Membangun Sekretariat Bersama Gerakan Buruh Migran Indonesia minimal ditingkat kabupaten/kota
- Menggalang aksi bersama pada momentum May Day dan Migrant Day
- Mendesak Pemerintah Republik Indonesia segera meratifikasi Konvensi PBB 1990 tentang Perlindungan Seluruh Buruh Migran dan Anggota Keluarganya, Konvensi ILO yang berkaitan dengan buruh migran, mensahkan Undang-Undang Perlindungan Sejati bagi Buruh Migran Indonesia dan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga.
6/30/2011
Pemerintah Diminta Perhatikan Nasib ABK
Jakarta - Komisi IX DPR meminta dilakukan mediasi antara Kementrian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kemenakertrans) RI, BPNP2TKI, Kementrian Luar Negeri (Kemenlu) RI dengan PT Surya Mitra Bahari beserta anak buah kapal (ABK) nya. Mediasi dilakukan untuk menyelesaikan tuntutan pembayaran gaji selama 12 bulan bekerja sewaktu kapal dibajak perompak Somalia. Batas waktu mediasi sampai tanggal 7 juli 2011.
Demikian kesimpulan Rapat Dengar Pendapat (RDP) dan Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Komisi IX DPR RI dengan Kepala BNP2TKI, Konsuler Kemenlu RI dan Dirut PT Surya Mitra Bahari serta ABK yang berlangsung di Ruang Sidang komisi IX Gedung DPR, Jakarta, Kamis (30/6).
Selain itu, Komisi IX DPR juga mendesak Kemenlu dan Kemenakertrans untuk mengontrol keberadaan perusahaan/agen penyalur ABK termasuk kelengkapan dokumen ijin perusahaan, agar tidak terjadi penyalahgunaan wewenang ijin kerja, seperti yang terjadi pada pihak agency Jia Feng YI Co, Ltd Taiwan dengan PT Suya Mitra Bahari.
Kemenlu dan Kemenakertrans juga diminta melakukan pengawasan secara aktif dan memberikan perlindungan yanhg maksinal terhadap TKI khususnya ABK di luar negeri yang mengalami masalah ketenagakerjaan. Tujuannya agar terjaminnya dan terpenuhinya keselamatan hak-hak ketenagakerjaan dan hak para ABK.
Nasib Pilu ABK
Nasib buruk dialami sepuluh ABK Indonesia korban perompak Somalia. Setelah lolos dari para pembajak berkat bantuan kapal perang Amerika, mereka tidak diberi gaji selama setahun bekerja di sebuah perusahaan berbendera China. Kesepuluh ABK itu antara lain adalah: Edi Supriyanto (28), Yasno (30), Octiansah (34), Saparudin (23), Amier Hidayat (37), Slamet Riyadi (29), Japar (27), Agretas Bertolomeos (37), dan Ahmad Yani (31).
Sejauh ini PT Surya Mitra Bahari selaku perusahaan yang merekrut mereka hanya bisa membayar enam bulan upah sebesar Rp 12 juta, itupun dipotong utang sehingga mereka hanya menerima Rp 4 juta. Sisanya dijanjikan akan dibayar PT SBM kalau kapten kapal yang masih disandera sudah dibebaskan perompak, namun belakangan dikabarkan sudah dibunuh. Mereka juga tidak mendapat asuransi sebagai mana yang diatur dalam surat perjanjian kerjasama ABK sebelumnya karena pihak asuransi menolak klaim itu.
Awalnya sembilan ABK ini direktrut oleh PT Surya Mitra Bahari melalui agency Jia Feng Yi Co LTD dipekerjakan sebagai ABK Taiwan berbendera China Jin Chun Tsai 68 (JCT). Pada 28 Maret tahun lalu, kapal itu dibajak oleh gerombolan perompak Somalia. Hampir setahun mereka hidup dibawah tekanan, serta menjadi tameng bagi aksi pembajakan mereka. Selama dalam masa sandera tersebut, para ABK mengaku sangat depresi karena dibawah ancaman pistol, dikurung dalam kamar ukuran kecil, dan makan sehari sekali.
Oktiansyah, salah satu ABK mengatakan bahwa usahanya menghubungi KBRI di Taiwan, merasa tidak dindahkan. Itu yang paling membuatnya kecewa, terutama saat diberi kesempatan perompak Somalia menelpon di KJRI di Nairobi, justru pihak KJRI menyarankan seolah teman bisnis saja.Akhirnya ABK selamat karena pertolongan dari Angkatan Laut USA (NVY). Setelah lolos, mereka diserahkan ke KBRI Muscat Oman.
Sekembali ke Indonesia, para ABK yang didampingi Pusat Bantuan Hukum Tenaga Kerja Indonesia (PBHTKI) mengadukan masalah tersebut ke Direktorat WNI dan BHI Kemenlu, Kemenhub, BNP2TKI, dan Kemenakertrans. Selain memperjuangkan hak-hak normatif mereka, PBHTKI juga berencana mempidanakan PT Surya Mitra Bahari atas dugaan praktek tindak pidana perdagangan orang (trackfiking). Selain itu, perusahaan itu dipidanakan karena tidak memiliki surat ijin pelaksana penempatan tenaga kerja Indonesia swasta (SIPPTKIS) termasuk dugaan penggelapan gaji ABK.(sus/faj)
Sumber: http://www.erabaru.net/top-news/39-news4/27029-pemerintah-diminta-perhatikan-nasib-abk
6/20/2011
Indonesian maid's beheading is a blow to President Yudhoyono's claims
6/08/2011
Indonesian sailors’ one-year ordeal
Five other crewmen were about to take over for the night, when all of a sudden, a gunshot was heard. Before they knew it, the ship was being hijacked.
What happened on March 28, 2010 remains fresh in the minds of Octiansah and his nine fellow seamen, who were held hostage for 12 months.
“Everything kept ringing in our ears,” recalled Saparudin, one of the 10 former Indonesian hostages.
It all began in 2008, when 10 fishermen from Central Java and East Nusa Tenggara applied for jobs as crew at PT Surya Mitra Bahari in Jakarta. Another, Nurdin from Banten, signed up with PT Wahana Samudera Indonesia. Both companies sent them to Taiwan to work with Jia Feng Yi Co Ltd, Taiwan. The 10 crew were Edi Suprayitno, Yasno, Octiansah, Amier Hidayat, Slamet Riyadi, Saparudin, Japar, Agretas Bartolomeod Sau, Ahmad Yani and Nuruddin.
In mid-September 2009, they set out aboard Jin Chun Tsai (JCT) 68 to Thailand, then on to other destinations. For five months, they worked under Captain Wu Lai Yu, alias Pina. The voyage continued on to Sri Lanka on Feb. 27, 2010, before they sailed to Somali waters to catch sharks.
for 12 months by Somali pirates and who were later freed — recount their
ordeal, in Jakarta. JP/ID Nugroho
The random shots hit the vessel’s masts several times. Realizing they were under attack, the crew rushed to hide. The pirates held sway with no resistance from the captain and seamen. Nine other robbers climbed aboard the Taiwanese flag carrier. The ship was forced to sail to Somalia for five days and the crew were locked up in their rooms.
The days spent as hostages were anything but pleasant. The ex-fishermen’s boundless ocean was reduced to a 6x3-meter room. They were just allowed to go to the bathroom a few meters away. “We had to knock on the door before going there and when we did, the guard at the door cocked his AK-47, ready to shoot,” said crewman Edy Suprayitno.
Food and drinks were also limited. They were taken from JCT supplies, which only lasted for two months. When the food ran out, the robbers supplied low quality rice with fish from fishermen’s catch and some leftover spices. “The first two to three months were so dreadful. We felt threatened,” noted Octiansah.
But things changed after a while. The Indonesian sailors were allowed more freedom. They could take a walk on the deck. By the end of 2010, the hostages were asked to hijack another vessel.
One night, the ship moved into the open sea with 27 seamen including the 10 Indonesians. After sailing for several hours, the ship stopped and all lights were turned off. Some of them, with AK-47s, mortars and a 7-meter-long ladder, boarded speedboats and headed for a fishing vessel.
“It was like what had happened to our ship. The two speedboats chased the vessel, while the pirates fired shots,” added Octiansah. As soon as they reached the vessel, the ladder was hooked on it and they went up to the deck. When everything was secure, JCT was steered toward the side of the ship under control.
The third act of piracy waged by the Somalis along with Indonesian crewmen, however, didn’t run smoothly. The pirates attempted to control a crude palm oil (CPO) ship from China using the same tactics as when they hijacked the JCT. But this vessel had an automated system capable of closing doors from the inside. The pirates aboard the ship failed to secure control of the automated system, so the captain was able to report the attack to the Royal New Zealand Navy.
A naval helicopter soon arrived to the ship’s rescue. When the Navy asked the 15 pirates to surrender, they used the Indonesia sailors as a living shield. They threatened to kill the Indonesians unless they were freed. Luckily, the navy agreed to their demand and let them go, along with the 10 Indonesians.
Behind bars: Suspected Somali pirates captured by the British Navy in the
Gulf of Aden stand in a cell in court in the Kenyan port city of Mombasa.
Reuters/Joseph Okanga
“At the time, the Somali pirates asked the US Navy’s USS Halyburton FFG 40 to provide medical treatment in exchange for freeing the 10 Indonesian and three Yemeni hostages. The swap went ahead in March 2011. Octiansah was taken to the Indonesian Embassy in Muscat, Oman. “When we were on the US ship, we heard the news about the hijacking of MV Sinar Kudus,” he said.
Back in Indonesia, the 10 seamen last month visited PT Surya Mitra Bahari and PT Wahana Samudera Indonesia in Jakarta, asking for their 19-month salaries, equivalent to US$ 240 a month, which they never received.
The companies argued they had not yet received confirmation from their partner in Taiwan. “They said all the salaries would be paid when the captain of JCT, now still held hostage, is also freed,” said Octiansah. But there is no certainty over when this will happen.
The crew later sought the assistance of the Indonesian Workers’ Legal Aid Association (PBHTKI) to get the money they were owed. Benhard Nababan, Director of PBHTKI, said the legal position of the 10 sailors was strong enough. “We’ve reported the case to the Indonesian Workers’ Placement and Protection Agency (BNP2TKI) and the Foreign Office for their defense,” he added.
Furthermore, PBHTKI and the 10 seamen reported the matter to the House Commission IX and met with a Commission IX member from the Indonesian Democratic Party of Struggle (PDI-P), Rieke Dyah Pitaloka. “Our sailors so far have not been regarded as Indonesian workers and never received training, let alone protection, which should be investigated,” she said.
The crew that was freed remain concerned over the fate of another hostage from Indonesia who hasn’t been rescued yet. The seaman from Jakarta works on the Blida ship. When he met with Octiansah and the other crew, he said he would soon be freed. “Hopefully he’s all right now,” said Octiansah.
10/29/2010
Asmara Nababan Dikenal Punya Jaringan Luas
Jum'at, 29 Oktober 2010 , 09:37:00 WIB
Laporan: Kristian Ginting
RMOL. Tim Pembela Buruh Migran Indonesia (TPBMI) turut berduka atas kepergian mantan Sekjen Komnas HAM, Asmara Nababan kemarin siang di China.
Koordinator TPBMI, Benhard Nababan, mengucapkan rasa duka ini melalui pesan pendek kepada Rakyat Merdeka Online, tadi pagi (29/10).
Benhard mengatakan, para aktivis yang berkecimpung dalam pembelaan buruh migran (TKI) sangat kehilangan sosok Asmara. Sebab, kata dia, para aktivis buruh migran sering meminta bantuan kepada Asmara dalam pembelaan HAM TKI.
"Kami mengenal Asmara memiliki jaringan yang luas khususnya dalam penegakan HAM," kata Benhard.
Selain dikenal sebagai pendiri Demos, Asmara juga aktif di beberapa lembaga swadaya masyarakat lainnya. Oleh karena itu, menurut Benhard, sudah sepantasnya para aktivis berterima kasih atas perhatian dan dukungan moril yang selama ini diberikan oleh Asmara.
Menurut Benhard pula, jenazah Asmara Nababan akan disemayamkan terlebih dahulu di rumah pribadinya di kawasan Pancoran pada 31 Oktober mendatang. Lalu, akan dibawa ke gedung Komnas HAM. Kemudian, pada pukul 12 siang, jenazah akan dibawa ke Gereja HKBP kawasan Hang Lekiu. Pada pukul 14.30 sore, jenazah Asmara Nababan akan dimakamkan di TPU Tanah Kusir. [wid]
Sumber: http://www.rakyatmerdeka.co.id/news.php?id=7944
10/27/2010
Revisi UU 39 Perlu Fokuskan Perlindungan TKI
Jakarta, BNP2TKI (27/10) - Relawan Kemanusiaan Buruh Migran Indonesia (Rekan Bumi) menyikapi secara kritis masuknya Revisi UU No.39/2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar Negeri sebagai Program Legislasi Nasional (Prolegnas). “Revisi UU No.39 harus menghasilkan rumusan pasal-pasal yang kongkrit dan tegas khususnya aspek perlindungan TKI,” ujar Benhard Nababan, SH, Koordinator Advokasi Rekan Bumi, saat ditemui dalam sebuah Seminar TKI di Jakarta, Rabu (27/10). Menurut Benhard, upaya peningkatan perlindungan TKI ke luar negeri tidak akan terjadi apabila tidak ada perubahan dalam cara pandang berbagai pihak terkait perlindungan TKI. Selama ini kegiatan perlindungan cenderung dipahami sebagai bagian yang terpisah dari kegiatan penempatan TKI. “Kegiatan perlindungan tereduksi menjadi penanganan kasus-kasus TKI, khususnya yang ada di luar negeri,” ujar Benhard seraya menganggap wajar jika kasus-kasus TKI di luar negeri akan terus berulang bahkan cenderung meningkat. Apabila sistem perlindungan TKI tidak digeser dari penanganan kasus yang sifatnya kuratif kepada orientasi pencegahan muncul dan meluasnya kasus, kata Benhard, Pemerintah, PPTKIS, dan masyarakat akan terus berhadapan dengan kasus-kasus kekerasan dan kematian TKI di luar negeri. “Pergeseran orientasi ini mensyaratkan adanya penyelesaian mendasar atas masalah pokok yang dihadapi TKI, yang berakar pada lemahnya sistem hukum yang mengatur perlindungan TKI,” gugah Benhard. Benhard mengungkapkan, UU No. 39 secara de facto lebih banyak mengatur soal bisnis penempatan TKI daripada perlindungan substansial bagi TKI. Substansi UU No. 39 sarat dengan kepentingan bisnis penempatan dan menomorduakan perkara perlindungan TKI. Dampaknya, bisnis penempatan TKI banyak membuka peluang bagi praktek perdagangan manusia (trafficking). Terkait saran terhadap Revisi UU No. 39, Benhard mengatakan bahwa 80 persen persoalan TKI ada di dalam negeri. Jadi, pembenahan sistem perlindungan TKI harus dimulai dari pembenahan manajemen migrasi TKI ke luar negeri. Pembenahan di dalam negeri, lanjut Benhard, bisa dimulai dari rekruitmen, pembiayaan, pendidikan/pelatihan, penanganan kasus dan bantuan hukum, reintegrasi TKI purna, peran serta masyarakat, pengawasan dan pendataan, dan standar kontrak kerja yang mengakui dan menjamin hak-hak dasar TKI. Selain itu, Rekan Bumi juga menyarankan agar efektif, pemerintah perlu memahami standar yang ditetapkan perlindungan pekerja migran di negara penempatan. Kalau bagus perlindungannya, pemerintah go ahead fasilitasi penempatan TKI. Sebaliknya, kalau jelek kualitas perlindungannya, pemerintah harus menolak PPTKIS menempatkan TKI ke sana. “Globalisasi ekonomi bisa berdampak positif dan negatif bagi perlindungan TKI. Tugas pemerintah harus menomorsatukan perlindungan TKI yang akan bekerja di luar negeri,” pungkas Benhard. (Zul). Sumber: http://bnp2tki.go.id/content/view/3344/231/ | |||
6/25/2010
Lagi, 2 TKI Korea Tertipu
Jakarta, BNP2TKI (25/6) - Baru 1 (satu) bulan Relawan Kemanusiaan untuk Buruh Migran (Rekanbumi) mendeklarasikan keberadaanya, pekerjaan menangani TKI bermasalah menumpuk sudah. Salah satunya adalah 2 (dua) calon Tenaga Kerja Indonesia (TKI) asal Banyuwangi yang dijanjikan akan berangkat bekerja ke Korea bulan Mei lalu, nyatanya malah tertipu masing-masing Rp 25 juta.
10/30/2009
BNP2TKI Biayai Pemulangan Jenazah Raisem
| Jumat, 30 Oktober 2009 | |||
Jakarta, BNP2TKI (30/10) Kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) Moh. Jumhur Hidayat mengaku berduka dan prihatin atas meninggalnya Raisem (36) binti Wardi TKI asal Sukra Indramayu, Jawa Barat, yang bekerja di Dubai, Uni Emirat Arab (UEA). BNP2TKI memberikan santunan uang kepada keluarga Raisem sebesar Rp 5 juta. BNP2TKI juga akan membiayai proses pemulangan jenazah dari Dubai hingga kampung halaman Raisem. Menurut Jumhur, persoalan TKI memang tidak mudah diselesaikan, masalah satu selesai muncul lagi persoalan baru. Banyaknya persoalan ini karena adanya mafia TKI yang memperdagangkan orang dengan logo Garuda. “Saya turut prihatin atas musibah yang menimpa Raisem, BNP2TKI akan segera mengurus dan membatu pemulangan jenazah Raisem dari Dubai. BNP2TKI juga memberikan santunan uang sebesar Rp 5 juta untuk Almarhum dan keluarga Raisem,” ujar Kepala BNP2TKI dihadapan keluarga korban dan Migrant Care, Kamis (29/10). Pemberian uang santuan dari BNP2TKI itu langsung diterima Taryani, ibu kandung Almarhumah. Sambung Jumhur, BNP2TKI akan bekerja sama dengan KBRI Dubai dan Depatemen Luar Negeri (Deplu) untuk memulangkan jenazah Raisem. “Ini tidak boleh dibiarkan, jenazah Raisem harus segera dipulangkan ke Indonesia. Masalah biaya pemulangan jenazah itu BNP2TKI tanggung, kita tidak mau menyulitkannya malah ingin mempermudahnya,” katanya. Menurut Benhard Nababan, perwakilan dari Migrant Care, Raisem bekerja sebagai Penata Laksana Rumah Tangga (PLRT) di Dubai. Almahumah meninggal dunia karena diduga terinveksi virus HIV Aids. “Raisem meninggal dunia 12 Juli 2009 lalu, sudah tiga bulan jenazahnya tidak bisa dipulangkan karena permasalahan dokumen dan passpor. Kami hanya menerima isi berita kematian Raisem dari surat yang dikirim oleh Deplu. Dalam isi beritanya Raisem meninggal karena HIV. Tapi ketika berangkat menjadi TKI Raisem tidak terinfeksi HIV,” kata Benhard. Taryani, ibu kandung Almarhumah mengaku bahagia bisa bertemu langsung dengan Kepala BNP2TKI. Ia berjanji akan menggunakan uang santunan dari BNP2TKI untuk tahlilan dan biaya anak-anak Raisem. Jenazah Raisem saat ini berada di Rumah Sakit Marhabat Dubai. Raisem bekerja di Dubai sejak tahun 2006, Almarhumah meninggalkan seorang suami dan tiga anak. (hp) Sumber: http://www.bnp2tki.go.id/content/view/1798/231/ | |||
7/15/2009
Pemilih Sabah Hanya 18,4 Persen
4/06/2009
TKI terlunta-lunta di Suriname
Senin, 06/04/2009 20:16:28 WIBOleh: Rahmayulis Saleh
Laki-laki asal Kertosono, Nganjuk, Jawa Timur, sekitar enam bulan lalu meninggalkan kampung halamannya. Negara tujuannya adalah Suriname, yang masih memakai bahasa Jawa dalam berkomunikasi sehari-hari. Nanang dan tiga orang temannya dari Yogyakarta, ditawari oleh seseorang bekerja di Suriname sebagai mekanik di sebuah pabrik motor.
"Menurut teman yang pernah bekerja di negara itu, gajinya lumayan. Selama lima tahun bekerja di sana, bisa membiayai hidup selamanya di kampung," ujarnya dari Bambu Apus, Jakarta, lewat telepon kepada Bisnis sore tadi.
Dalam waktu tidak lama, cerita Nanang, dia dan teman-temannya sepakat berangkat ke negeri tersebut. Modalnya hanya biaya untuk membuat paspor. Sementara tiket dan lainnya ditanggung oleh perusahaan yang menawarinya bekerja. Perusahaan itu adalah Kaminah Motor, di Distrik Wanica, Lily Gorp, Suriname.
Nanang berangkat ke Suriname dengan visa turis. Sehari setelah sampai di negeri itu, diapun langsung bekerja. Membongkar mesin motor bukan hal baru baginya. Sebab, dia sebelumnya sudah lama bekerja di bengkel motor, dan sudah mengerti tentang mesin kendaraan roda dua itu.
Setelah dua bulan bekerja, kata Nanang, dia belum tahu apa dan bagaimana statusnya. Berapa besaran gaji yang diterimanya, haknya apa saja, termasuk upah lembur, dan perjanjian lainnya secara administratif. Selain itu juga belum diantarkan ke kantor Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Suriname untuk melaporkan bahwa dia bekerja di negeri itu.
"Ketika masalah ini kami bicarakan dengan pimpinan Kaminah Motor, eh kami malah diusir dengan alasan tidak memiliki visa kerja. Gaji selama dua bulan tidak dibayar, dan barang-barang milik pribadi tidak boleh dibawa, malahan disuruh ganti rugi membayar tiket sekitar US$2.500," tuturnya.
Di pabrik itu, katanya, ada 11 orang warga Indonesia yang tengah bekerja. Semuanya diusir. Mereka melapor ke KBRI dan ditampung disana.
"Seminggu setelah tinggal di KBRI, kami difasilitasi bertemu dengan bos. Dan tiga orang teman kembali bekerja di pabrik itu. Namun, delapan orang lainnya termasuk saya, tidak mau. Sebab, isi perjanjian kontraknya tidak jelas, termasuk jam kerja, gaji, dan lainnya. Kebanyakan isinya merugikan pekerja," ujar Nanang lulusan SMA yang sempat kuliah perhotelan di sebuah universitas di Bali.
Walhasil Nanang dan teman-temannya pun terkatung-katung di KBRI. Kasus mereka sempat diberitakan oleh media setempat, mengenai buruh migran yang terkena PHK sepihak. Namun kasusnya tidak selesai-selesai. Dia ingin gajinya dibayarkan dan hak-haknya diberikan oleh perusahaan. Tak terasa empat bulan Nanang ditampung di KBRI.
"Selama itu tidak ada tanda-tanda kasusnya akan selesai. Akhirnya atas bantuan International Organization for Migration (IOM), saya dan teman-teman difasilitasi untuk pulang ke Indonesia," lanjutnya.
Sekarang mereka ditampung di Bambu Apus, milik Dinas Sosial, Departemen Sosial. Sekarang masalahnya, kata Nanang, dia ingin cepat-cepat pulang ke Nganjuk berkumpul dengan isteri dan keluarganya. Namun belum ada tanda-tanda dari pemerintah untuk memulangkannya.
"Sampai sekarang pejabat Depsos tidak ada yang datang. Ya, kami menunggu saja di sini, tidak jelas," ungkapnya.
Pemerintah lamban
Sementara itu, Koordinator Tim Advokasi Migrant Care, Benhard Nababan menilai pemerintah terkesan lamban dalam menangani kasus TKI dari Suriname tersebut.
"Rencananya kami akan bertemu mereka di Bambu Apus, seharusnya kasus seperti ini bisa cepat diselesaikan pemerintah, terutama KBRI, Departemen Tenaga Kerja dan Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI),"
"Ketika para pekerja tersebut masih berada di penampungan KBRI Suriname semestinya dipertemukan dengan pihak-pihak terkait, jadi pembayaran gaji dan hak-hak lainnya bisa diselesaikan dengan segera" ujar Benhard kepada Bisnis
Mereka dipulangkan ke Indonesia sejak seminggu yang lalu tapi belum diperbolehkan pulang ke kampung halaman karena harus menunggu prosedur lainnya,
Migrant Care akan membantu para pekerja tersebut mendapatkan hak-hak yang belum dipenuhi pengusaha tempatnya mereka bekerja. "Mudah-mudahan bisa diselesaikan dengan baik," ujar Benhard.
Sita Widyawati, Kasudit Bantuan Sosial Korban Tindak Kekerasan Depsos menuturkan sebenarnya kasus Nanang cs adalah trafficking karena diserahkan oleh IOM. Departemen Luar Negeri pun mengindentifikasi bahwa mereka adalah korban trafficking.
"Kami dari Depsos hanya dititipi oleh IOM dan Deplu, untuk membantu menghilangkan trauma, dan memulihkan secara psikososial," ujarnya kepada Bisnis. Para korban tersebut, katanya, untuk sementara di tampung di Rumah Perlindungan Trauma Center Bambu Apus, milik Depsos. Masalah kepulangan mereka ke kampung halaman masing-masing, tergantung bagaimana hasil dari penggalian informasi dan pemulihan psiko sosial mereka.
"Kalau tidak ada masalah apa-apa, bisa secepatnya dipulangkan. Kalau masih di Jawa dengan bus Damri, kalau di luar Jawa dengan kapal Pelni," tambah Sita. Dia menuturkan biasanya seseorang berada di rumah penampungan Bambu Apus sekitar satu minggu, kecuali yang menderita sakit berat, harus dirawat dulu.
Namun, kalau semuanya lancar, dalam tiga hari juga bisa pergi. Untuk menganani para korban tersebut, kata Sita, Depsos menyediakan tenaga ahli dari psikolog dan pekerja sosial. “Mereka yang akan membantu para korban, dan melaporkan hasilnya kepada kami. Setelah itu baru diatasi bersama, bagaimana tindakan selanjutnya," ujarnya. (tw)
Sumber: http://www.bisnis.com/umum/sosial/1id111695.html
3/17/2009
Concerted Petition of Indonesian Migrant Workers, Civilians and Worker Observers: "Ratify Immediately the 1990 Migrant Convention"
11/26/2008
Segera Ratifikasi Konvensi PBB tentang Perlindungan Buruh Migran
Benhard Nababan, aktivis organisasi advokasi buruh migran, Migrant Care, menilai produk kebijakan pemerintah SBY-JK menyangkut perlindungan dan kesejahteraan buruh migran, tidak pernah melibatkan organisasi buruh migran. Dia menilai Inpres No 3/2006 maupun UU No 39/2004 cacat dan tak punya legitimasi. "Maka jangan heran bila seluruh regulasi tersebut pada kenyataannya jauh dari harapan buruh migran, baik dalam hal perlindungan maupun kesejahteraan," tandas Benhard dalam keterangan pers kepada Suara Merdeka CyberNews, Rabu (26/11).
Menurut dia, seluruh regulasi yang ada, maupun berbagai langkah untuk melakukan amandemen atas UU 39/2004, selama tidak melibatkan organisasi massa BMI hanya akan menguntungkan pemerintah dan PJTKI.
Atas dasar hal itu, lanjut Benhard, maka BMI menuntut Pemerintah RI untuk segera meratifikasi Konvensi Internasional yang melindungi buruh migran yakni Konvensi Internasional Perlindungan Hak Seluruh Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya (International Convention on the Protection of the Rights of All Migrant Workers and Members of their Families) 1990 dan Beberapa Konvensi ILO terkait seperti Konvensi ILO 143 tentang Pekerja Migran (1975), Konvensi ILO No 97 tentang Migrasi demi Pekerjaan (ILO Convention No 97 Concerning Migration for Migration Employment) yang direvisi tahun 1949 dan Konvensi No 181 tentang Agen Tenaga Kerja Swasta (Convention No 181 Concerning Private Employment Agencies) yang disahkan tahun 1997.
BMI juga menuntut pemerintah untuk segera menyusun dan menjalankan mekanisme yang memastikan jaminan perlindungan BMI sejak perekrutan hingga kepulangan menyangkut: tersosialisasinya seluruh hak-hak normatif bagi calon buruh migran, perlindungan dan penanganan bantuan hukum yang memadai bagi BMI yang mengalami masalah di negeri tujuan, monitoring reguler yang berperan aktif dalam mengatasi seluruh persoalan yang dialami oleh BMI, dan menindak tegas seluruh PJTKI yang melakukan pelanggaran atas hak-hak BMI dan menghukum dengan ganjaran setimpal.
"Kami menuntut kepada pemerintah untuk menghentikan berbagai biaya lebih penempatan; beban ganda dari pemerintahan yang tidak mampu menyediakan lapangan pekerjaan, sekaligus bekerja sebagai buruh migrant yang harus membayar biaya penempatan dengan komponen biaya yang sangat memeras BMI," tegasnya.
Dia mendesak pemerintah untuk mengevaluasi keberadaan Terminal Khusus TKI (Terminal 3 yang sekarang disebut Gedung Pencatatan Kepulangan Tenaga Kerja Indonesia/GPK TKI) melalui Konsultasi Publik dengan Serikat dan NGO Buruh Migran Indonesia. (Imam M Djuki /CN05)
10/30/2008
4/10/2008
Sidang Trafficking PRT Darniati Digelar di PN Jaktim
Anis Hidayah Wahyu Susilo
Executive Director Policy Analyst
(081578722874) (08129307964)
Kontak lebih lanjut: Benhard Nababan (081387358359)
(mbs)